Manajemen Waktu

Soal Waktu – Renungan Spiritual

Soal Waktu – Renungan Spiritual – Enam minggu terakhir ini benar-benar mengajarkan saya tentang kesabaran. Biasanya, saya adalah orang yang cukup sabar, tapi ada kalanya hidup seperti berkata, “Tenang dulu, Nak. Masih banyak yang harus kamu pelajari tentang kesabaran dan hal-hal luar biasa yang bisa terjadi ketika kamu menguasai seni menunggu.”

Sejujurnya, saya bukan orang yang selalu sabar. Saat masih muda, saya sering kesal kalau sesuatu tidak berjalan secepat yang saya harapkan.

Meskipun sekarang saya sudah lebih bisa menahan diri dan tidak langsung mengeluh ketika sesuatu tidak berjalan sesuai janji, jauh di dalam diri saya masih ada sisa-sisa ketidaksabaran yang tersembunyi.

Di kantor, saya sangat bergantung pada komputer dan sistem yang mendukung pekerjaan saya. Beberapa minggu lalu, komputer utama saya tiba-tiba rusak, dan pihak pabrik berjanji akan memperbaikinya. Awalnya, masalah ini tampak sederhana, tetapi ternyata semakin lama semakin rumit.

Setiap hari saya menghubungi mereka, dan mereka selalu bilang perbaikannya akan selesai dalam beberapa hari. Setelah dua minggu berlalu, mereka akhirnya mengakui bahwa suku cadang yang dibutuhkan tidak tersedia, jadi mereka akan mengganti komputer saya dengan unit baru. Tentu saja, saya senang karena akan mendapatkan pengganti yang lebih canggih.

Mereka berjanji komputer baru akan dikirim dalam waktu seminggu. Tapi ketika seminggu berlalu dan komputer itu tidak juga datang, saya mulai frustrasi. Saya bahkan sempat membayangkan menulis surat protes ke petinggi perusahaan atau menghancurkan komputer lama saya dengan tongkat baseball di depan kamera televisi!

Saya teringat kata-kata seorang pria bijak: “Ujian terakhir dari seorang master adalah mengalahkan ketidaksabaran.” Tapi jujur saja, saat itu saya tidak ingin jadi “master” atau “mengalahkan” apa pun. Saya hanya ingin komputer saya segera datang! Saya bahkan teringat sebuah stiker di mobil yang pernah saya lihat. Stiker itu menunjukkan burung pemakan bangkai yang sedang duduk di dahan pohon kering dengan keringat bercucuran di kepalanya. Tulisannya berbunyi:

“Kesabaran? Pantatku! Aku mau bunuh seseorang!”

Saya tertawa kecil membayangkannya. Saya pikir, kalau saya sudah menunggu dua minggu, menunggu satu atau dua hari lagi seharusnya bukan masalah besar. Tapi beberapa hari kemudian, ketika komputer baru saya masih belum tiba, rasa frustrasi itu muncul lagi.

Terkadang, kita terlalu terpaku pada waktu. Kita hidup seperti tahanan waktu—selalu terburu-buru ke sana kemari, mengejar sesuatu yang entah apa. Tanpa sadar, kita melewatkan banyak hal dalam hidup. Tahu-tahu, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun telah berlalu. Anak-anak kita sudah dewasa, pekerjaan lama kita sudah tidak ada, beberapa teman kita sudah pergi selamanya, tapi matahari tetap terbit setiap pagi.

Mungkin, jika kita bisa sedikit memperlambat langkah dan mengikuti aliran hidup, segalanya akan tetap berjalan dengan baik. Saya belajar bahwa memaksakan sesuatu agar terjadi justru tidak efektif. Lebih baik menciptakan kondisi yang memungkinkan sesuatu terjadi dengan sendirinya.

Dengan pemikiran itu, saya memutuskan untuk berhenti ngotot. Saya tidak mau stres hanya karena komputer saya belum datang. Toh, saya masih bisa bekerja dengan komputer cadangan selama beberapa minggu terakhir tanpa masalah besar. Jadi, menunggu satu atau dua minggu lagi tidak akan jadi bencana.

Saya pun kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Beberapa hari kemudian, saya menerima email yang mengatakan bahwa komputer baru saya akan dikirim keesokan harinya. Spesifikasinya persis seperti komputer lama saya. Saya pun merasa senang dan lega.

Namun, keesokan harinya, saat saya mengecek informasi pengiriman, saya melihat bahwa pengiriman dibatalkan. ARRGH!! Seketika, bayangan burung pemakan bangkai di bumper mobil tadi muncul lagi dalam pikiran saya. Tapi saya menepisnya. Saya hanya bergumam, “Komputernya pasti datang pada waktunya,” lalu kembali fokus pada pekerjaan lain. Saya bahkan tidak repot-repot menelepon pihak pabrik lagi. Saya sudah melakukan yang bisa saya lakukan. Apa pun yang lebih dari itu hanya akan membuat saya semakin frustrasi.

Hidup sering kali berbicara kepada kita dengan cara yang unik. Jika kita mendengarkan, hidup akan terasa lebih damai dan menyenangkan. Tapi jika kita mengabaikannya, kita akan terus-menerus merasa stres dan kecewa.

Keesokan harinya, saya mengecek informasi pengiriman lagi—bukan karena saya ingin buru-buru mendapatkan komputer, tapi hanya karena penasaran. Betapa terkejutnya saya ketika melihat bahwa komputer saya akhirnya dikirim. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka tidak mengirim model yang sama dengan yang lama. Sebagai gantinya, mereka mengirim model terbaru yang baru saja dirilis ke pasaran beberapa hari sebelumnya! Saya mungkin rela menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan model itu.

Saat komputer itu akhirnya sampai di tangan saya, saya tersenyum dan berkata, “Terima kasih,” tanpa berbicara kepada siapa pun secara khusus.

Mungkin, saat saya berhenti terpaku pada waktu dan hasil yang saya inginkan, alam semesta bekerja dengan caranya sendiri. Sering kali, kita seperti anak kecil yang ingin sesuatu dengan segera. Tapi alam semesta berkata, “Aku tahu apa yang kamu mau, Nak. Dan aku tahu kamu ingin itu sekarang. Tapi kalau kamu mau menunggu sedikit lebih lama, aku akan memberimu sesuatu yang jauh lebih baik dari yang kamu pikirkan.”

Jadi, berhentilah hidup dalam ketergesaan. Lepaskan diri dari belenggu waktu. Jika kita bisa melakukan itu, kita akan melihat bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan cara yang ajaib. Dalam hidup ini, selalu ada yang “lebih baik” dari yang kita kira. Dan di atas “lebih baik”, ada yang “terbaik”. Alam semesta ingin memberikan yang terbaik untuk kita. Beri ia kesempatan untuk melakukannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *