Masalah yang Putus Asa – Renungan Spiritual
Masalah yang Putus Asa – Renungan Spiritual – Tom adalah orang yang luar biasa. Dia baik hati, peduli, dan selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkannya. Tapi ada satu masalah—kebanyakan dari kami tidak betah berlama-lama di dekatnya. Walaupun dia berusaha menjadi orang yang “baik,” ada sesuatu dalam dirinya yang membuat suasana selalu terasa suram dan penuh beban. Entah dia berbicara lewat telepon atau duduk di hadapan kita, rasanya seperti dunia akan segera berakhir atau hidup kita akan berantakan. Kalau kamu menghabiskan satu jam bersamanya, energimu akan terkuras habis.
Bukan berarti Tom adalah orang jahat—tidak sama sekali. Masalahnya, Tom selalu membawa “awan negatif” yang berasal dari keputusasaan. Situasinya benar-benar parah. Dan dampaknya tidak hanya berhenti saat dia menutup telepon. Rasa sesak di dada dan energi yang terkuras itu bisa bertahan lama, sampai akhirnya kita melupakannya. Begitulah kuatnya rasa putus asa—ia bisa meredupkan cahaya paling terang dalam hidup kita.
Keputusasaan itu menyebarkan pesan kuat ke semua orang di sekitar kita. Bahkan orang yang baru pertama kali bertemu pun bisa merasakannya. Rekan bisnis mulai menjauh, pasangan jadi enggan berinteraksi, dan bahkan anak kecil pun merasa tidak nyaman.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan kalau hidup terasa begitu sulit hingga kita terjebak dalam keputusasaan? Sederhana, tapi tidak mudah.
Pertama, coba pelan-pelan kurangi pikiran yang berlarian di kepalamu. Rasa putus asa muncul karena pikiran negatif yang terus menerus memenuhi otakmu. Tenangkan percakapan batin itu. Berhentilah sejenak dari apa pun yang sedang kamu lakukan, walau hanya beberapa menit.
Setelah itu, tarik napas dalam beberapa kali. Tidak perlu teknik khusus, cukup tarik napas perlahan, lalu hembuskan. Ini akan membantu tubuh, pikiran, dan jiwamu menjadi lebih rileks. Sadari bahwa keadaan memang seperti ini, tapi bukan berarti tidak bisa berubah. Kamu bisa mengubahnya dengan menenangkan diri dan mendengarkan perasaanmu. Tanyakan pada dirimu sendiri: Apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan saat ini untuk mengatasi masalah ini?
Jawabannya hanya ada dua: ya atau tidak. Jika jawabannya ya, lakukan sesuatu yang bisa kamu lakukan. Jika jawabannya tidak, lakukan hal lain atau bahkan istirahatlah sejenak. Latihan sederhana ini melatih kesabaran dan membantu pikiran menemukan cara kreatif untuk menyelesaikan masalah. Dan sering kali, solusi datang dengan cara yang tidak terduga.
Tentu saja, menghilangkan rasa putus asa bukan seperti menekan tombol atau menjentikkan jari. Aku sendiri sudah mengalaminya berkali-kali, dan butuh keberanian serta latihan untuk bisa mengatasinya. Kebanyakan dari kita tidak bisa berhenti khawatir hanya dengan berkata “jangan khawatir.”
Tapi kita bisa membatasinya.
Ada trik sederhana yang sering aku pakai. Aku akui situasinya buruk, lalu berkata pada diriku sendiri:
“Ini memang kelihatan parah, benar-benar buruk. Tapi mungkin ini hanya terasa begitu karena aku sedang panik dan takut sekarang. Tidak apa-apa kalau mau merasa takut sebentar. Tapi jangan menghabiskan seharian dalam ketakutan. Ambil waktu 30 menit, satu jam, atau beberapa jam kalau perlu. Biarkan dirimu merasa seputus asa yang kamu mau dalam waktu itu. Tapi setelahnya, lepaskan dan lanjutkan hidup.”
Coba lakukan latihan ini setiap kali kamu merasa takut dan putus asa.
Lalu bagaimana dengan Tom?
Dia masih sering menelepon. Dia selalu kelelahan. Keputusasaan telah menghabiskan seluruh energinya. Aku sudah mencoba menunjukkan bahwa selalu ada harapan, bahwa masalahnya akan melepaskannya jika dia cukup tenang untuk merelakan semuanya. Aku mencoba mengajarinya untuk bernapas perlahan dan menenangkan diri. Dia mendengarkan, diam selama sepuluh detik, lalu kembali mengkhawatirkan segalanya.
Teman-temannya juga mencoba membantunya, tapi dia tidak mau melepaskan beban itu. Aku mulai percaya bahwa Tom merasa hidupnya tidak punya tujuan kalau dia tidak punya sesuatu untuk dikhawatirkan. Aku berusaha memberitahunya bahwa tidak apa-apa untuk bahagia, bahwa kita tidak butuh alasan khusus untuk merasa bahagia. Tapi dia tetap tidak mau melepaskan masalahnya dan mengizinkan dirinya sendiri untuk merasa bahagia.
Pada akhirnya, kebahagiaan itu pilihan. Dan hanya kita sendiri yang bisa memutuskan untuk melepaskan beban dan memilih kebahagiaan.